
Yogyakarta, serasa masih begitu kuat menorehkan kenangan manis saat aku masih “muda”, hehehehe. Apalagi menikmati YK dengan ditemani sang pujaan hati….woooow mantab. Rasanya sudah kurang lebih 4 tahun lamanya aku terakhir mengunjungi kota ini. Kerinduan seakan terobati dengan hadirnya tugas dinas mengunjungi provinsi Yogyakarta 18-21 Agustus 2009, maka disela-sela waktu menjalankan pekerjaan pasti termanfaatkan secara optimal dan efektif untuk mereguk keramahan wong Yogya, eh kota Yogya juga he he eh.

Salah satu sudut kota ini yang sering membuat kangen adalah suasana Malioboro, ramai dan kekhasan pedagang kaki lima menjajakan dagangannya seakan tak tergantikan oleh suasana dikota lain. Malioboro memang peradaban budaya masa kini yang masih kental dengan nuansa luhur budaya silam. Menikmati hal ini seakan mengundang sebuah fantasi surgawi yang begitu berkesan bagiku.
Memainkan kamera butut yang mengelantung di pinggang akhirnya menjadi keasyikan tersendiri, disela-sela itu melihat beragam barang-barang souvenir juga cukup menghibur sambil menunggu datangnya malam. Melakukan tawar menawar atas beberapa barang-barang untuk oleh-oleh keluarga dan teman tentu sebuah keasyikan tersendiri. Dengan berbekal bahasa jawa kromo ingigil yang aku miliki maka semuanya lancar.

Pada tanggal 19 Agustus 2009 seusai makan siang, ketika sedang melakukan kunjungan lapangan di Sleman, maka atas inisiatif teman-teman Yogya akhirnya kami mengunjungi salah satu kaki Gunung Merapi. Setelah sempat beberapa saat kendaraan agak kerja keras karena jalanan menanjak, akhirnya kami sampai pada salah satu jalan yang bernama ROSA. Asal muasal nama jalan ini ternyata berfokus pada sang pemberani; mbah Maridjan.
Setelah kami susuri ternyata jalan tersebut memandu kami menuju rumah mbah Maridjan. Rumah yang cukup besar, khas nuansa pedesaan, namun saya bisa menangkap aura rumah yang begitu kuat akan idialita, semangat dan kesederhanaan para penghuni didalamnya. Hal ini tentu nyambung dengan realitas sosial yang menjadikan mbah Maridjan sebagai tauladan tentang bagaimana menjaga elan vital untuk mengabdi, dengan bertatahkan jiwa dan raga. Sebuah ketulusan dan kepatuhan tanpa sayap kepada sang penguasa. Dedikasi yang syarat akan ajaran profesionalitas seorang penjaga gunung menjadi barang langka pada abad kekinian.
Kami juga disambut bangunan masjid yang cukup bagus, dan khabarnya pembangunannya merupakan penyisihan hasil dari pendapatan mbah Maridjan dari saat membintangi iklan. Kami juga melihat jalan diseputar rumahnya juga sudah di rabat dengan rapi, pemandangan khas kaki gunung dengan aroma lava yang masih terasa. Beberapa jepretan kamera sempat saya lakukan juga. Setelah mendekat masuk rumahnya saya melihat mbah Maridjan lagi sibuk menerima rombongan tamu dari Surabaya yang ingin mendengarkan pengalaman hidupnya menjaga merapi.

Karena mbah Maridjan kurang berkenan untu difoto maka rumah tinggalnya menjadi pelampiasan. Setelah merasa cukup dengan beberapa belas menit mengamat-amati keadaan akhirnya tim bergerak kearah penampungan lava yang terletak diatas bukit sebelah atas rumah mbah Maridjan. Keindahan merapipun akhirnya terabadikan. Sayang waktu tidak begitu banyak memberiku kesempatan karena agenda kerja sudah menanti.
0 komentar:
Posting Komentar